Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konsekuensi Besar dibalik Gempuran Kejahatan



Fenomena Begal, Pencurian dan berbagai tindak pidana lainnya merebak di Kab. Lumajang. Salah satunya adalah kasus yang terjadi di Wilayah Kec. Randuagung, terjadi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor milik seorang guru dan tak lama berselang terjadi kembali kasus yang sama. Rentang waktu antara kasus satu dengan yang lain masih belum genap 1 bulan, masing-masing kejadian terekam kamera CCTV milik warga. Kasus lain yakni pembegalan terjadi di wilayah Kec. Jatiroto, korbannya adalah seorang ibu-ibu yang hendak memeriksakan putrinya ke Layanan kesehatan di wilayah jatiroto, korban menderita luka cukup serius di kepala sehingga korban harus mendapatkan pertolongan medis, kejadian ini terjadi bersamaan dengan kegiatan Ibadah Sholat Jum'at. Penanganan kasus yang terkesan lamban membuat Warga pesimis akan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang begitu meresahkan dan merugikan ini.


Kondisi dan Situasi seperti saat ini sangat memungkinkan terjadi suatu ancaman Bahaya lain kepada pelaku kejahatan yakni Tindakan Main Hakim sendiri, hal ini Bukan tanpa alasan, warga dan korban sedikit banyak memiliki rasa kebencian yang amat teramat sangat dalam, endapan tersebut akan menjadi dendam. Sehingga apabila ada pelaku kejahatan yang tertangkap warga, ledakan amarah (a hostile outbrust) atau ledakan tumpukan kekecewaan (a hostile frustration) tersalurkan melalui tindakan penganiayaan massal yang berujung pada hilangnya nyawa.


Menurut Zainal Abidin dalam bukunya "Penghakiman Massa Kajian Atas Kasus dan Pelaku"

Faktor-faktor psikologis sosial yang dialami oleh 

para pelaku tindakan main hakim sendiri dapat di jelaskan sesuai framework tindakan main hakim sendiri yaitu sebagai berikut:


1. Perceived Norm Violation, Para pelaku pada umumnya memiliki persepsi yang sangat negatif terhadap penjahat dan kejahatan, yang membuat para pelaku merasa marah, jengkel, kesal, dendam, kalap dan gemas. Perasaan tersebut menyebabkan mereka memiliki niat untuk “menghakimi” para penjahat.


2. Perceived Law Enforcementi, Para pelaku memiliki persepsi yang sangat negatif terhadap penegakan hukum. Hukum dinilai berjalan sangat buruk, tidak efektif, tidak efisien, dan tidak adil. Dalam konteks ini, polisi dipersepsi sebagai aparat yang tidak serius dalam menangani kejahatan dan juga menangani kasus-kasus penghakiman massa.


3. Relative Deprivation, Adanya deprivasi relatif yang dialami para pelaku penghakiman massa terutama tampak dari perasaan kecewa dan tidak puas yang disertai oleh emosi marah yang mereka alami akibat adanya kesenjangan antara harapan untuk dapat hidup secara aman. 


4. Perceived Social Support, Para pelaku pada umumnya memiliki persepsi bahwa para penonton dan masyarakat setempat memberi dukungan terhadap kasus-kasus penghakiman massa.


5. Sosial learning, Para pelaku belajar dari kasus-kasus lain mengenai bentuk-bentuk atau jenis-jenis kekerasan. Mereka juga belajar (terutama melalui pengamatan langsung dan informasi yang di dengar/dibaca).


6. Mob identification, Faktor-faktor tersebut tidak akan mungkin terwujud dalam bentuk penghakiman massa, jika para pelakunya tidak berada dalam massa dan mengidentifikasikan diri dalam masa.


7. Triggering, Pemicu merupakan faktor yang sangat penting dalam memperantai antecedent factors dengan faktor mob identification. Ia ibarat pemantik yang siap membakar emosi negatif orang-orang yang secara potensial sudah sangat marah dan memiliki niat untuk “menghakimi.”


8. Perceived Social Role, Keterlibatan atau identifikasi seorang individu ke dalam massa dan menjadi salah seorang pelaku dalam penghakiman massa, ditentukan oleh bagaimana persepsi orang itu terhadap peran sosialnya dalam masyarakat.


Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa:

1. Faktor emosional pelaku tindakan main hakim  sendiri (eigenrichting) yang liar tak terkendali.

2. Ikut-ikutan atau dorongan orang lain saat melihat kejadian main hakim sendiri. 

3. Kurang kesadaran terhadap hukum yang berlaku.

4. Menganggap tindakan main hakim adalah setimpal dengan perbuatan pelaku kejahatan.

Tindakan main hakim sendiri diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM): 

  1. Pasal 170 KUHP mengatur tentang pengeroyokan yang dilakukan secara bersama-sama terhadap orang atau barang di tempat umum. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan. Jika korban mengalami luka berat, pelaku dijerat Pasal 170 KUHP ayat (2) dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 tahun.
  2. Pasal 351 KUHP mengatur tentang penganiayaan. 
  3. Pasal 4 dan Pasal 33 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa tindakan main hakim sendiri merupakan pelanggaran hak asasi manusia. 

Bukti nyata ledakan amarah dan tumpukan kekecewaan Masyarakat adalah peristiwa mengerikan yang terjadi pada Hari Sabtu, 14 September 2024, di Desa Barat Kec. Padang, Kab. Lumajang. Seorang maling yang kepergok saat melancarkan aksinya tewas diamuk massa.


Jika pengusutan kasus tetap terkesan lamban maka dapat dipastikan kejadian serupa akan terulang kembali dikemudian hari, semoga pihak berwajib senantiasa mendapat lindungan, petunjuk dan kelancaran peneyelidikan, demi terciptanya lingkungan yang aman dan damai.

Post a Comment for "Konsekuensi Besar dibalik Gempuran Kejahatan"